AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
(atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIVatau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan
virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit
dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina,
cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan
intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi
darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu
dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika
Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah
penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di
seluruh dunia.[5]
Pada Januari
2006, UNAIDS bekerja sama dengan
WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada
tanggal 5 Juni
1981. Dengan demikian,
penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS
diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun
2005 saja, dan lebih dari
570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini
terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian
dan parahnya
infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua
negara.
Hukuman
sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila
dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman
sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau
sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA).
Gejala dan Komplikasi
Gejala-gejala
utama AIDS.
Berbagai gejala
AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus,
fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di
wilayah geografis tempat hidup pasien.
Penyakit
Paru-paru Utama
·
Pneumonia pneumocystis (PCP)
·
Tuberkulosis
(TBC)
Penyakit Saluran Pencernaan Utama
·
Diare Kronis
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
·
Kompleks demensia AIDS
Kanker dan tumor ganas (malignan)
·
Sarkoma Kaposi
·
kanker usus besar bawah (rectum)
·
kanker anus
·
kanker
payudara dan
·
kanker usus
besar (colon)
Infeksi oportunistik lainnya
Penyebab
HIV
yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil
(diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan
bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+
(sejenis sel T),
makrofaga,
dan sel dendritik.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal
sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi
baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut
hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat
sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS.
Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi
HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh
tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2
bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV
(seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah
orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa
variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang
sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS,
serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan
risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan
juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV
bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil
pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA
HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita
lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan
ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung
darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi
baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara,
Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat
anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan
(perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan
walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah
dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak
dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya
dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi
HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas
kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini,
mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada
penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan
donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi
dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10%
infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
Penularan masa perinatal
Transmisi HIV
dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar,
tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu
saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
Sistem tahapan infeksi WHO
- Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
- Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang
- Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
- Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
Pencegahan
Tiga jalur utama
(rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan)
dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi,
namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut,
dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
Pasien HIV/Aids Menurut WHO
Saat ini
tercatat, sekitar 34 juta orang di dunia mengidap Virus HIV penyebab Aids dan
kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara berkembang.
Sub-Sahara Afrika sejauh ini merupakan kawasan yang paling banyak
terpapar HIV/Aids.
Tapi epidemi
virus yang telah membunuh lebih dari 25 juta orang didunia dalam 30 tahun
terakhir sejak Virus HIV pertama kali ditemukan, sejauh ini menunjukan gejala
penurunan.
Program
HIV/Aids PBB , UNAIDS mengatakan angka kematian penyakit ini pada tahun 2011
tercatat sebanyak 1,7 juta kematian. Angka ini menunjukan penurunan dibandingkan
tahun 2005 yang mencapai puncak tertinggi dengan 2,3 juta kematian ataupun pada
tahun 2010 lalu yang tercatat sebanyak 1,8 juta.
Data WHO
terbaru juga menunjukan peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan
pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang. Angka ini meningkat
300.000 orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya.
Perusahaan obat
generic asal India saat ini menjadi pensuplai utama obat anti retroviral bagi
pengidap HIV ke Afrika dan banyak negara miskin lainnya.
Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan pihak medis atau dokter mampu menyelamatkan lebih dari 3
juta nyawa di dunia pada tahun 2025 jika menawarkan obat AIDS kepada pengidap
HIV lebih cepat, segera setelah mereka diketahui positif mengidap virus
mematikan itu.
Referensi :