Senin, 28 April 2014

BAB 5 HUKUM PERJANJIAN



BAB 5
HUKUM PERJANJIAN
5.1 Standar Kontrak
Pengertian
a.       adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
b.      perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
c.        is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
d.      Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
  1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.   Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1.      Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri

Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.

2.      Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian

Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

3.      Ada suatu hal tertentu

Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.

4.      Adanya suatu sebab yang halal

Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

a.       tidak bertentangan dengan ketertiban umum
b.      tidak bertentangan dengan kesusilaan
c.       tidak bertentangan dengan undang-undang

5.2 Macam Macam Perjanjian dalam Hukum Kontrak

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain:
1.      Perjanjian Cuma Cuma (pasal 1314 KUHPERdata)
Suatu persetujuan dengan cuma cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Perjanjian dengan cuma cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misal: Hibah
2.      Perjanjian atas beban
Perjanjian atas beban adalh perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Jadi, dua pihak dalam memberikan prestasi tidak imbang.
Contoh: Perjanjian pinjam pakai ----> debitur mempunyai beban untuk mengembalikan barang, sedangkan kreditur tidak.
Perjanjian cuma cuma dan atas beban penekanan perbedaannya ada di PRESTASI
3.      Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Hak dan Kewajiban harus imbang. Misal: Perjanjian Jual Beli
4.      Perjanjian Sepihak
Hanya ada satu hak saja dan hanya ada satu kewajiban saja. cntoh: Hibah
Perjanjian Timbal Balik dan Sepihak penekanan perbedaannya ada di hak dan kewajiban.
5.      Perjanjian Konsesual
Perjanjian Konsesual adalah perjanjian di mana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUPDT, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.( Pasal 1338)
6.      Perjanjian RIIL
Perjanjian yang hanya berlaku  sesudah terjadi penyerahan barang. Misal: Perjanjian penitipan barang, PErjanjian pinjam pakai.
7.      Perjanjian Formil
Perjanjian yang harus memakai akta nota riil. contoh: jual beli tanah.
8.      Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama (nomina) adalah perjanjian yang sudah diatur dan diberi nama di dalam KUHPDT. Perjanjian tidak bernama (innomina) adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPDT, namun perjanjian berkembang dalam masyarakat. Contoh: Perjanjian kerja sama, Perjanjian pemasaran, Perjanjian pengelolaan.
9.      Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir hanya melahirkan hak dan kewajiban saja, pelaksanaannya nanti.
10.  Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misal Pembebasan Utang

5.3 Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Menurut pasal 1320 KHUPer, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 
  2. cakap untuk membuat suatu pejanjian; 
  3. mengenai suatu hal tertentu; 
  4. sesuatu sebab yang halal; 
Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Sepakat mereka yang mengikat Dirinya
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual mengingini sejumlah uang, sedang pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual. 
Cakap Untuk Membuat Suantu Perjanjian
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUHPer, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian: 
  1. Orang-orang yang belum dewasa; 
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 
  3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UU dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu 
Dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh bebas berbuah dengan harta kekayaannya. 

Menurut KUHPer, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 KUHPer). Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang/wali, adalah dengan diwakili, seorang anak tidak membikin perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan wakilnya. Tetapi seorang istri harus dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. 
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
Suatu Sebab Yamg Halal
Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai sesuatu yang terlarang. Misalnya, dalam perjanjian jual beli dinyatakan bahwa si penjual hanya bersedia menjual pisaunya, kalau si pembeli membunuh orang, maka isi perjanjian itu menjadi sesuatu yang terlarang. Berbeda halnya jika seseorang membeli pisau ditoko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang lain.
Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. 
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable. Ia selalu diancam dengan bahaya pembatalan (canceling)
Yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya. Dalam hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunya. Dalam hal seorang yang telah memberikan sepakat atau perizinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu berlaku selama 5 tahun menurut pasal 1454 KUHPer. 
Bahaya pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan (affirmation) oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu, dapat terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu menyatakan dengan tegas mengakui atau akan mentaati perjanjian yang telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat terjadi secara diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu membayar atau memenuhi perjanjian yang telah diadakan oleh anak itu. Ataupun orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam.

5.4 Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a.       kesempatan penarikan kembali penawaran;
b.      penentuan resiko;
c.       saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d.      menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Untuk menentukan saat lahirnya kontrak dalam hal yang demikian ada beberapa teori :
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kotrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya. Pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu.
b.   Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c.    Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d.   Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya 
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.

5.5 Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
a.       Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
b.      Harus ada wanprestasi (breach of contract)
c.       Harus dengan putusan hakim (verdict)

Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1.      Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2.      Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3.      Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4.      Media pembayaran yang digunakan
5.      Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1.      Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2.      Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3.      Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4.      Penyerahan harus nyata (feitelijk)

Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1)      Maksud pihak- pihak
2)      Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3)      Kebiasaan setempat
4)      Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5)      Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6)      Tafsiran berdasarkan akal sehat

            Referensi :
      http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/pembatalan-dan-pelaksanaan-perjanjian/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar